Kota
Padang sebagai kota kolonial tumbuh dan berkembang karena pengaruh penetrasi
Belanda. Selain sebagai pusat administratif dan pusat kegiatan ekonomi, kota
kolonial juga ditandai dengan terpusatnya bangunan-bangunan pemerintahan di
sana. Mulai dari kantor residen, atau gubernur, bank, kantor polisi, kantor
pos, penjara, gudang-gudang, asrama tentara, dan loji-loji dagang. Belanda tak
sekedar mengendalikan wilayahnya bertempat di kawasan ini, tapi juga
menjadikannya pusat kegiatan perdagangan, ekonomi, militer dan politik.
Disepanjang Batang Arau terdapat kawasan pusat Pemerintahan Sumatera Barat
(keletakan kantor Gouvernements van Sumatera’s Westkust dan kantor Residentie
Sumatera’s Weskust). Kantor Residentie Sumatera’s Weskust pada dahulunya
merupakan kawasan keletakan loji yang selain merupakan pusat kegiatan
pemerintahan, juga merupakan kawasan perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat
Eropa khususnya masyarakat Belanda.
Selain sebagai pusat pemerintahan,
Padang dahulu juga sebagai pusat perniagaan, terlihat di sepanjang tepi Batang
Arau terdapat bangunan dan gudang-gudang perniagaan dimasa pemerintahan
Kolonial Belanda. Di kawasan kota lama inilah rempah-rempah hasil bumi yang
dibawa dari pedalaman Minangkabau, seperti; pala, beras, rotan, tembakau, kopra,
pinang, kopi, kulit manis, coklat, damar, dan hasil bumi lainnya, tidak heran
jika di kawasan ini terdapat gudang dan toko-toko perniagaan. Di kawasan Kota
Lama ini terdapat beberapa pasar, yaitu;
Pasa Gadang, Pasa Batipuh dan Pasa Mudiak. Bukan hanya pedagang dari Padang
yang berdagang di Pasa Gadang, tetapi ada pedagang dari pedalaman Minangkabau,
seperti Solok, Batipuh, Sumpu, Kumango, Bukittinggi, Pesisir, Batusangkar, dan
Pariaman. Lalu Suku Mandailing dan juga keturunan India atau yang dikenal
pedagang Keling. Sebelum mengenal kereta api para pedagang ini membawa
dagangannya dengan menggunakan Pedati dan menggunakan kapal melalui Pelabuhan
Batang Arau.
Perkeretaapiaan di Sumatera Barat
dimulai dengan ditemukannya sumber alam batubara di Sawahlunto oleh Willem
Hendrik de Greve pada tahun 1868. Setelah itu Pemerintah Kolonial Belanda
merencakan pembangunan tiga serangkai, yaitu: pembangunan tambang batubara di
Sawahlunto, pembangunan jalur kereta api dan pembangunan pelabuhan baru Teluk
Bayur (Emmaheaven).
Jalur kereta api pertama dibangun
pada bulan Juli 1891 dari stasiun Pulo
Aie menuju stasiun Padangpanjang. Empat bulan kemudian jalur dari Padangpanjang
diteruskan sampai Bukittinggi, selesai pada bulan November 1891. Sementara
pembangunan jalan kereta api dari Padangpanjang ke Muara Kalaban sepanjang 56
Km dapat diselesaikan sampai bulan Oktober 1892. Kemudian tahun 1894
diselesaikan jalan antara Muara Kalaban–Sawahlunto, sedangkan lintas
Bukittinggi–Payakumbuh diselesaikan tahun 1896, dilanjutkan sampai Limbanang
yang diselesaikan tahun 1921. Dalam kurun waktu 22 tahun dapat diselesaikan
pembangunan jalur kereta api sepanjang 230 km. Jalur lintas Lubuk
alung-Pariaman selesai pada tahun 1908, Pariaman-Naras selesai pada Januari
1911, sedangkan jalur Muarakalaban-Muarasijunjung selesai pada tahun 1924.
Kereta api ini digunakan untuk
mengangkut batubara dari Sawahlunto menuju Padang, di Pelabuhan Teluk Bayur
untuk dijual ke Eropa menggunakan kapal laut. Selain untuk mengangkut batubara,
kereta api juga digunakan untuk jasa penumpang dan barang.
Kereta api sebagai alat trasnportasi
umum yang mempunyai peranan penting bagi perkembangan ekonomi di Sumatera
Barat. Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, kerata api digunakan untuk
mengangkut penumpang, barang-barang keperluan masyarakat dan hasil bumi,
seperti rempah-rempah dari pedalaman Minangkabau untuk dijual di Padang melalui
stasiun Pulo Aie. Setiap harinya stasiun Pulo Aie ramai dikunjungi oleh warga
kota. Keadaan ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mencari rezeki
dengan berdagang dan menjadi buruh.
Pada tahun 1960-an stasiun ini
selalu ramai dikunjungi oleh calon pemunpang dan aktifitas bongkar barang,
sehingga perekonomian masyarakat pada saat itu mengeliat, namun dengan
berkembangannya kendaraan bermotor di kota Padang, mengakibatkan keberadaan
kereta api mulai tergantikan oleh bus dan truk. Bus dan truk dianggap lebih
cepat dibandingkan kereta api ditambah lagi keadaan gerbong yang sudah tua dan
dinding-dinding gerdong banyak yang berlubang, sehingga calon penumpang beralih
ke kendaraan bus dan truk.
Hal ini mengakibatkan menurunnya
aktifitas perekonomian masyarakat disekitar stasiun Pulo Aie, apalagi setelah
stasiun Pulo Aie ditutup pada tahun 1983.
Pedagang
yang berdagang di stasiun Pulo Aie, sudah tidak berdagang lagi, dan ada juga
yang memilih berdagang ditempat lain. Sedangkan buruh ada sebagian yang masih
menjadi buruh ada juga yang pergi mencari pekerjaan lain. Setelah stasiun Pulo
Aie ditutup, kawasan ini menjadi sepi, keadaan ini berbanding terbalik dengan
keadaan pada tahun-tahun sebelum stasiun Pulo Aie ditutup.(Yusman Karim)
Posting Komentar