Ketika istilah “arkeologi publik” dimunculkan oleh McGimsey (1972)
pada awal tahun 1970-an, pengertiannya lebih ditekankan pada usaha-usaha para
arkeolog untuk merekam dan melindungi tinggalan-tinggalan arkeologis yang
terancam oleh proyek-proyek pembangunan, atas nama dan bersama dukungan publik
(McGimsey 1872: 5-6; lihat juga Merriman 2004a: 3; Schadla-Hall 1999: 146-147).
Pandangan ini masih banyak digunakan di USA, di mana arkeologi publik dikaitkan
dengan manajemen sumber daya budaya (CRM) yang dijalankan untuk kepentingan
publik (Cleere 1989: 4–5; Jameson 2004: 21; McDavid dan McGhee 2010: 482;
McManamon 2000: 40; White dkk. 2004). Tetapi di tempat lain, istilah ini telah
menerima pemaknaan baru yang beragam (Ascherson 2006, 2010; McDavid dan McGhee 2010:
482). Sebagai contoh, sebuah jurnal yang diterbitkan pada tahun 2000 yang
didedikasikan untuk subjek ini, diberi judul Public Archaeology, menyusun
daftar tema berikut yang mendesak untuk segera dibahas sebagai persoalan
utamanya: kebijakan-kebijakan arkeologis, pendidikan dan arkeologi, politik dan
arkeologi, arkeologi dan pasar barang-barang antik, etnisitas dan arkeologi,
keterlibatan publik dalam arkeologi, arkeologi dan hukum, ekonomi arkeologi,
serta pariwisata budaya dan arkeologi (Public Archaeology, 2000: sampul dalam)[1]
Tinggalan arkeologi selain memiliki potensi sumberdaya arkeologi,
juga potensi sebagai sumberdaya budaya yang mempunyai kedudukan sama dengan
sumberdaya lain sebagai salah satu modal pokok dalam pembangunan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Kusumahartono, 1995). [2]
Pada saat ini masih terdapat beberapa perbedaan dalam
mendefinisikan istilah
Arkeologi Publik. Paling tidak terdapat tiga definisi yang
berbeda, yaitu:
- Arkeologi Publik dipersamakan dengan Contract Archaeology atau Cultural Resources Management (CRM), yaitu berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya budaya (arkeologi). Cakupannya pun kemudian menjadi cukup luas, yakni mencakup segala hal yang biasa dilakukan dalam CRM, mulai dari konservasi sampai dengan masalah hukum/perundangan.
- Arkeologi Publik diartikan sebagai bidang kajian yang membahas mengenai hal yang berkaiatan dengan bagaimana mempresentasikan hasil penelitian arkeologi kepada masyarakat. Cakupan kajiannya menjadi lebih sempit dibandingkan dengan yang pertama (point a), karena yang paling utama dikaji dalam pengertian ini adalah masalah publikasi hasil penelitian arkeologi. Yang dimaksud dengan publikasi bukan hanya berarti penerbitan saja, tetapi melingkupi publikasi dalam bentuk yang lain, misalnya display museum, poster, film, sosialisasi arkeologi, dan sebagainya.
- Arkeologi Publik didefinisikan sebagai bidang ilmu arkeologi yang khusus menyoroti interaksi arkeologi dengan publik atau masyarakat luas. Lnteraksi tersebut dapat terjadi dalam dua arch, balk dari arkeologi ke publik maupun dari publik ke arkeologi.[3]
Terdapat tiga pihak utama yang berperan dalam perkembangan
arkeologi, terutama di Indonesia, yaitu pihak akademisi, pihak pemerintah, dan
pihak publik atau masyarakat. Ketiganya mempunyai peran yang sangat menentukan
bagi keberlangsungan arkeologi. Peran masyarakat semakin lama justru semakin
meningkat, terutama akhirakhir ini pada saat mainstream pemikiran di luar
arkeologi pun sangat kental dalam memperhatikan kepentingan masyarakat dalam
segala hal. Lebih-Iebih dalam arkeologi dikaitkan dengan
"kepemilikan" benda cagar budaya atau peninggalan arkeologis yang
merupakan milik masyarakat, sehingga masyarakatlah yang dipandang paling berhak
atas miliknya tersebut. Dalam paradigma pelestarian sumberdaya arkeologis pun
terdapat pergeseran, dari yang dulunya hanya semata-mata memperhatikan
pelestarian fisik saja bergeser pada kepedulian terhadap kebermaknaan sosial
(social significance) dari tinggalan arkeologis itu sendiri. Dengan demikian
keberhasilan sebuah proses pelestarian BCB ditentukan oleh apakah pelestarian
tersebut mempunyai kebermaknaan sosial bagi masyarakat setempat. [4]
Upaya pengelolaan warisan
budaya di situs arkeologi pada masa sekarang, harus memperhatikan makna sosial
(social significance) bagi masyarakat sekitarnya. Konsekuensi pemahaman
tersebut, menuntut adanya suatu perubahan kebijakan (advokasi),
mengalihposisikan penduduk di sekitar situs yang semula sebagai objek menjadi
subjek.[5]
[2] Yadi
Mulyadi, Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Sulaa Di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, Naskah
Publikasi (Yogyakarta : Program Pascasarjana, Universitas Gadjah
Mada, 2009) hlm 1
[3] Universitas
Gadjah Mada 1 POKOK BAHASAN: DASAR-DASAR ARKEOLOGI PUBLIK
[4] ibid
[5] PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI LINGKUNGAN SITUS ARKEOLOGI Oleh :
Bambang Sulistyanto Pusat Arkeologi Nasional http://setjen.kemdikbud.go.id/arkenas/contents/category/article/arkeologi-publik
Posting Komentar