Pemukiman
adalah sebuah sistem yang didalamnya terdapat variabel-variabel yang saling
terkait. Variabel yang dimaksud diantaranya adalah lingkungan, institusi,
teknologi, dan interaksi sosial. Setiap variabel tersusun atas sub-subsistem
sehingga membentuk sebuah kebudayaan yang kompleks. Dalam mempelajari pola pemukiman dapat
dipastikan akan menemukan gambaran tentang organisasi sosial, politik,
ekonomi, dan kepercayaan. Intepretasi akurat pada lay out, ukuran luas, gaya
dan tipe bangunan secara tidak langsung dapat mengidentifikasikan hubungan
aspek-aspek yang tekait tersebut. Penelitian lay out dan ukuran bangunan akan
meperoleh gambaran tentang susunan keluarga dan perkiraan jumlah anggota
keluarga.
Beberapa
contoh temuan situs di belahan dunia dapat dipastikan tidak memiliki kesamaan
budaya materi. Peradaban-peradaban yang terbentuk didasarkan pada perbedaan
sumber daya alam yang dimiliki serta beberapa faktor lainnya. Peradaban di
Sungai Indus sudah mengenal tulisan ± 1500 S.M. sedangkan Indonesia
diperkirakan baru mengenal tulisan Abad ke-4 M. Salah satu bagian dari budaya
adalah adanya sistem sosial yang terejawantahkan dalam wujud pemukiman.
Pemukiman yang dimaksud adalah sebuah kelompok manusia yang telah berdomisili
menetap pada sebuah tempat tinggal yang di dalamnya terdapat tatanan sosial.
Struktur
bangunan benteng, menara, serta jenis-jenis artefak senjata yang ada di
dalamnya akan memberi gambaran tentang institusi politik. Institusi seremonial
atau kepercayan terimplementasi dalam tipe bangunan (seni arsitektur, dekorasi
yang ada didalamnya) semisal atap kubah dan puncak atap mustoko biasanya
mengidentifikasi bahwa bangunan tersebut digunakan sebagai tempat beribadah.
Sistem pertanian, luas lahan yang digarap dapat memberikan informasi organisasi
ekonomi.
Situs
penguburan pun terkadang dapat memberikan informasi organisasi politik dan
sosial. Status sosial dapat dilihat dari bekal kubur, bentuk upacara kematian,
dan bentuk makamnya. Gambaran organisasi politik dapat terlihat pada
upacara-upacara ritual yang dipersembahkan bagi leluhur yang dianggap
memberikan pengaruh besar semasa kepemimpinannya (P.H. Subroto. 1983: 8). Pola-pola
pemukiman dapat berbentuk kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Bentuk
pemukiman tersebut terkadang mengacu pada konsep kosmologis dan berada di pusat
pemerintahan atau kota (P.H. Subroto. 1983: 9).
Studi
Pemukiman
Tata
ruang terbentuk oleh sebab-sebab atau proses yang telah berlangsung sejak lama.
Faktor-faktor pembentuknya dapat diamati dengan cara memahami fenomenologi yang
membentuk pemukiman tersebut. Keruangan sering dikaitkan dengan pola tata
ruang. Pola ruang terbentuk diakibatkan oleh fenomena fisik secara spasial.
Fenomena tersebut diantaranya kekuatan alam secara alami atau sering disebut
dengan aktivitas geologi, klimatis yang akhirnya menuju pada keseimbangan alam.
Kemudian fenomena lainnya adalah yang bersumber dari manusia itu sendiri
seperti aktivitas budidaya atau pemanfaatan lingkungan alam. Selebihnya
tergantung kebutuhan apa yang akan diteliti maka akam berpengaruh pula pada
metodologi yang digunakan.
Pemukiman
secara garis besar terdiri dari permukiman mikro dan makro. Pola Permukiman
merupakan refleksi dari aspek-aspek budaya manusia dan lingkungan alam beserta
gejala-gejala geografisnya (P.H. Subroto. 1999; 2). Study pemukiman dapat pula
dibedakan menjadi bangunan individual (Individual Building), studi pemukiman
(Community Settlements), dan pemukiman zonal (Zonal Settlements) (K.C.
Chang.1968; 57-63), Bruce G. Trigger yang dikutif oleh P.H. Subroto. 1999;
5-4). Studi tentang bangunan-bangunan individual tergolong pada pemukiman
mikro. Studi tentang permukiman komunitas atau antar komunitas termasuk pada
pemukiman makro.
Pemukiman
Mikro
Pemukiman
mikro bidang kajiannya khusus mengidentifikasikan seperti, jenis-jenis
bangunan, sisa-sisa bangunan, makam, sisa sumur, jalan, dll. Dalam mengamati
pemukiman mikro tidak terlepas dari konteks yang ada di sekitarnya seperti,
kepercayaannya, teknologi, subsistensi dan ekonominya. Secara otomatis
gambaran mengenai aspek-aspek yang diteliti tersebut akan tercermin dalam
bentuk, struktur, orientasi, tata ruang, tata letak, dan bahan bangunannya
(P.H. Subroto. 1999: 6).
Metode
yang digunakan dalam meneliti pemukiman mikro adalah dengan pendekatan bersifat
konjungtif dan etnografi. Metode konjungtif menekankan pada hubungan atau
korelasi antara satu fenomena dengan fenomena lainnya. Setiap fenomena akan
memiliki makna yang berbeda-beda tergantung interpretasi pada kompoen-komponen
fisik sebuah bangunan individual. Mulai dari bentuk atap, bahan yang digunakan,
hingga struktur bangunannya. Metode etnografi juga dapat mengidentifikasi sistem
kepercayaan religi dan sistem ekonomi (P.H. Subroto. 1999: 6-8).
Pemukiman
Makro
Pola
permukiman Makro atau Zonal mempunyai cakupan interpretasi yang luas. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jarak antar situs, pola interaksi,
distribusi situs, dan hubungan simbolik di antara situs-situs atau
komunitas-komunitas tersebut (P.H. Subroto. 1999: 9).
Metode
penelitian yang digunakan adalah penggabungan metode pemukiman mikro yaitu
konjungtif dan etnografi bisa dilakukan. Penelitian pemukiman makro lebih
diupayakan untuk mengetahui pola sebaran situs, bahkan melacak perubahan
pola-pola dan faktor yang menyebabkannya. Analisis untuk mengetahui sebaran
situs dengan menggunakan analisis tetangga terdekat (nearest neighbour
analysis) (Gibbon, 1984: 225-226, yang dikutif oleh P.H. Subroto. 1999: 10).
Dengan cara analisis tetangga terdekat dapat menentukan perhitungan derajat
kecakapan (degree of rendomness).
Banyak
factor-faktor yamg menyebabkan distribusi situs yang disebabkan oleh beberapa
factor yaitu: pertama, Faktor lingkungan fisik yaitu keadaan
iklim, permukaan bumi (tofografi), kondisi sungai dan laut, sumber daya air, sumber
daya batuan dan mineral, jenis tanah, ketinggian dan kemiringan lahan. Kedua, Faktor lingkungan non fisik yaitu
Lingkungan biologi, jenis flora dan fauna (P.H. Subroto. 1999: 11). Prinsip utama
dari teori pemukiman adalah selama daerah yang dimukim nyaman dan bisa
memberikan keuntungan bagi komunitas maka tidak akan mendiami wilayah yang
tidak memiliki potensi makanan, penunjang kehidupan yang baik, serta komunikasi
dan transportasi (P.H. Subroto. 1999: 12). (ulsan tulisan Denny Santika)
Daftar Putaka
A.
White, Leslie. 1975. “The Energy Theory of
Cultural Development.” In Cultural Anthropology. New York: Holt,
Rinehartand Winston.
Hamond,
Fred. “Blach Holes in British Prehistory: The Analysis of Settlement Processes”. In Pattern Of The Past: Studies in Honour of David Clarke.
Haryono,
Timbul. “Arkeologi Kawasan dan Kawasan Arkeologis: Asas Keseimbangan Dalam
Pemanfaatan”. dalam Berkala Arkeologi edisi khusus.
Isaac,
Glynn. 1981. “Stone Age Visiting Card: Approaches to The Study of Early Land
Use Patterns”. In Pattern Of The Past:
Studies in Honour of David Clarke.
N.
Miksic, John. 1986. Pola Pemukiman Dan Peradaban Di Asia Tenggara. Makalah
dalam Kegiatan Ilmiah Arkeologi IAAI Komisariat Yogyakarta, Jawa Tengah.
Soerjani,
Mohamad. 1986. “Ekologi, Ilmu Lingkungan, dan Arkeologi (Manfaat dan Resiko
Arkeologi Terhadap Lingkungan)“. Manusia-Lingkungan Hidup-Teknulogi-Sosial-Budaya-Konsepsi-Metodologi.
Dalam PIA IV Tanggal 3-9 Maret 1986. Jakarta.
Subroto,
P.H. 1999. Metodologi Studi Permukiman Di Indonesia. Dalam EHPA.
-----------------.
1983. “Studi Tentang Pola Pemukiman Arkeologi dan Kemungkianan-Kemungkinan
penerapannya di Indonesia”. dalam PIA III. Ciloto:23-28 Mei.
-----------------.
1981. Study of Settlement Patterns in Southeast Asia During The Pleistocene.
Dalam Hand Out Mata Kuliah Arkeologi Pemukiman.
-----------------.
Pola Zonal Situs-Situs Arkeologi. Dalam Hand Out Mata Kuliah Arkeologi
Pemukiman.
Wirasanti,
Niken. 2003. Interaksi Masyarakat Jawa Kuna dan Sumberdaya Lingkungan. dalam
Artefak edisi 25 Desember 2003, hal: 8. Yogyakarta.
Posting Komentar